RPDU komisi DPR RI "Pandangan Tentang implementasiUU no 36/1999 Tentang komunikasi dan revisinya" "
Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) pada hari Senin 10 Nopember 2014 memenuhi undangan Komisi I DPR-RI dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) di kantor Komisi I DPR RI. Pada kesempatan ini Ketua Umum Mastel Setyanto P Santosa yang hadir bersama beberapa DPH dan DPA serta Anggota Mastel menyampaikan beberapa poin penting terkait TIK mengenai kondisi saat ini dan yang akan datang yang dirangkum dalam kata pengantar Ketua Umum Mastel sbb:
Perlu disadari bahwa pada abad ke-21, telekomunikasi memegang peranan yang sangat penting di dalam kehidupan kita sehari hari , baik dalam konteks kenegaraan, masyarakat bahkan individu. Infrastruktur telekomunikasi dewasa ini , khususnya Jaringan Pitalebar atau lebih sering dikenal sebagai Broadband Networks telah menjadi salah satu kebutuhan utama masyarakat di abad 21. Broadband telah infrastruktur ekonomi yang sangat vital yang akan menentukan tingkat pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Infra struktur telekomunikasi tidak dapat lagi dipersepsikan sebagai suatu sarana dan prasarana yang dipergunakan hanya untuk menghubungkan komunikasi dari suatu titik ke titik yang lainnya, melainkan sebagai faktor pengungkit, faktor penentu yang akan menjamin keberhasilan pada sektor sektor kehidupan manapun daalam kehidupan kita bernegara dan bermasyarakat. Telekomunikasi merupakan enabler dalam suatu pembangunan ekonomi.
Dalam kaitan inilah Bank Dunia mengemukakan hasil penelitian mereka bahwa setiap pertumbuhan 10 persen penetrasi akses internet di suatu negara , akan mendorong tumbuhnya Produk Dometik Bruto di negara tersebut sebesar 1,38 persen. Dengan pemahaman seperti ini maka tidak mengherankan apabila di negara maju seperti Amerika Serikat mengelompokan infrastruktur telekomunikasi sebagai critical-infrastructure atau infrastruktur yang kritis dimana gangguan terhadap telekomunikasi baik secara fisik maupun virtual dikatagorikan sebagai suatu pelanggaran berat dengan ancaman pidana.
Perlu dimaklumi bahwa dalam UU 36/1999 tentang Telekomunikasi, Pemerintah dibatasi kewenanganya hanya sebatas kepada fungsi Pembinaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 bahwa telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. Fungsi Pembinaan ini meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dan tidak termasuk fungsi penyediaan atau pembangunan, karena kegiatan2 ini sudah dilimpahkan kepada badan usaha yang memperoleh ijin penyelenggaraan. Semangat dari UU 36/1999 saat itu adalah menghilangkan fungsi Pemerintah dibidang pembangunan sarana dan prasaran telekomunikasi yang sebelumnya ditugaskan oleh Undang-undang sebelumnya . Dalam Implementasi UU 36/1999 ini seringkali terjadi Pemerintah tidak berdaya terutama apabila harus melayani kebutuhan masyarakat di daerah-terpencil, daerah yang belum berkembang atau daerah yang secara ekonomi belum menguntungkan (unquick-yielding); karena pada umumnya badan usaha akan menolak pembangunan sarana telekomunikasi di lokasi-lokasi yang tidak menguntungkan bagi usaha mereka. Apakah Pemerintah akan diberikan kembali wewenang fungsi pembangunan dalam Perubahan UU 36/1999, kesemuanya kami serahkan kepada para Anggota Komisi I -DPR-RI.
Perlu dimaklumi bahwa dalam UU 36/1999 tentang Telekomunikasi, Pemerintah dibatasi kewenanganya hanya sebatas kepada fungsi Pembinaan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 bahwa telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah. Fungsi Pembinaan ini meliputi penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian dan tidak termasuk fungsi penyediaan atau pembangunan, karena kegiatan2 ini sudah dilimpahkan kepada badan usaha yang memperoleh ijin penyelenggaraan. Semangat dari UU 36/1999 saat itu adalah menghilangkan fungsi Pemerintah dibidang pembangunan sarana dan prasaran telekomunikasi yang sebelumnya ditugaskan oleh Undang-undang sebelumnya . Dalam Implementasi UU 36/1999 ini seringkali terjadi Pemerintah tidak berdaya terutama apabila harus melayani kebutuhan masyarakat di daerah-terpencil, daerah yang belum berkembang atau daerah yang secara ekonomi belum menguntungkan (unquick-yielding); karena pada umumnya badan usaha akan menolak pembangunan sarana telekomunikasi di lokasi-lokasi yang tidak menguntungkan bagi usaha mereka. Apakah Pemerintah akan diberikan kembali wewenang fungsi pembangunan dalam Perubahan UU 36/1999, kesemuanya kami serahkan kepada para Anggota Komisi I -DPR-RI.
Kewajiban penyediaan jaringan telekomunikasi di daerah terpencil atau belum berkembang sesungguhnya sudah diatur dalam Pasal 16 UU 36/1999 dimana setiap Penyelenggara diwajibkan untuk memberikan kontribusi dalam pelayanan universal. Kontribusi pelayanan universal ini berbentuk penyediaan sarana dan prasaran telekomunikasi atau kompensasi lainnya. Namun Pasal 16 berserta penjelasannya menimbulkan multi tafsir sehingga berpotensi dapat melanggar hukum (terutama dari kacamata Penegak Hukum). Namun fungsi kewajiban USO ini perlu diatur dengan lebih transparan dan akuntabel sehingga masyarakat dapat ikut mengawasi penggunaan dana yang terkumpul dari para operator (1,25% dari pendapatan kotor). Kita sangat sepakat dan mendukung gagasan pemerintah untuk memeratakan layanan dan jasa telekomunikasi di seluruh tanah air, baik yang diperkotaan maupun yang jauh di daerah daerah terpencil di Indonesia. Untuk itu kelangsungan program USO perlu dipertahankan eksistensinya walaupun perlu dilakukan pembenahan di sana sini agar tidak menimbulkan permalahan hukum dikemudian hari. Disamping itu penggunaan dana USO pun perlu lebih realistis misalnya digunakan untuk menunjang pengembangan daerah dengan membangun daerah2 penyangga perkotaan contoh di Jakarta adalah kota-kota satelit disekitar Jakarta yang dapat dipastikan sangat membutuhkan adanya jaringan pita lebar terutama kabel serat optik, yang sekaligus juga dapat bermanfaat untuk mengurangi tekanan trafik dari pinggiran kota ke pusat pusat kota.
Masalah yang berkaitan dengan Penyelenggaraan diatur dalam Bab IV yang terdiri dari 36 pasal. Walaupun Pasal-pasal dalam bab ini dan berbagai peraturan turutannya sudah jelas dan dimengerti oleh para pelaku bisnis dibidang telekomunikasi namun ternyata untuk aparat penegak hukum dianggap tidak jelas sehingga menimbulkan seringkali terjadi penafsiran yang berbeda, sebagaimana terjadi dalam kasus IM2 yang pernah kami sampaikan kepada Komisi 1 DPRI_RI dalam acara RDPU tanggal 22 Januari 2013.mengenai Penggunaan Pita Frekuensi 2,1 Mhz PT. Indosat, sehingga kami tidak perlu mengulang apa yang pernah kami sampaikan pada waktu itu, hanya dalam kesempatan ini kami melaporkan bahwa vonis terhadap mantan Direktur Utama PT. Indosat Multi Media (IM2) (Bapak Indar Atmanto) telah dijatuhi hukuman oleh para hakim baik pada sidang di Pengadilan Tipikor Jakarta, telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman 4 tahun penjara, , pada tingkat kasasi diperkuat oleh Pengadilan Tinggi dan bahkan di Mahkamah Agung dijatuhi hukuman 8 tahun dengan membayar denda sebesar Rp. 1,3 Triliun. Sementara itu dalam keputusan perdata tentang kerugian negara yang dihitung oleh BPKP (sebelum kasus IM2 disidangkan) telah pula diputuskan oleh Mahkamah Agung bahwa perhitungan BPKP adalah keliru dan tidak terjadi kerugian negara. Keputusan perdata ini merupakan alat bukti baru dan akan diajukan sebagai Peninjaun Kembali namun sayangnya masih terhambat, karena salinan keputusan MA masih belum dikirimkan kepada kepada pihak2 terkait padahal pak Indar Atmanto sudah menjalani hukuman atas dasar petikan surat keputusan yang disampaikan oleh Pihak Kejaksaan Agung. Situasi dan suasana ini, sangat mengganggu iklim usaha dibidang TIK karena adanya ketidak pastian hukum, bagi para investor.Karena membingungkan dimana Pemerintah/Regulator menyatakan tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan oleh IM2 tetapi para penegak hukum telah menjatuhkan vonis bersalah. Kami harapkan para Anggota Komisi 1 dapat benar-benar menyadari dan memikirkan hal-hal semacam ini, kami berharap pada saat Bapak & Ibu membuat berbagai undang-undang janganlah sampai dapat disalah tafisrkan oleh pihak-pihak terkait, hal-hal yang pada awalnya dianggap sudah jelas oleh Bapak & Ibu tetapi bagi para penegak hukum belum tentu jelas atau dimengerti akibatnya akan kan timbul kekeliruan dalam membuat tuduhan maupun keputusan hakim.
Sebagaimana kami sampaikan di bagian terdahulu bahwa akibat ditetapkannya UU 36/1999, di Indonesia telah terjadi restrukturisasi industri telekomunikasi dengan memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada masyarakat (pelaku usaha baik dalam negeri maupun asing ) untuk berusaha di bidang telekomunikasi dengan sasaran untuk meningkatkan pembangunan jaringan telekomunikasi (teledensitas, aksesibilitas) dan meningkatkan pelayanan jasa telekomunikasi utamanya jasa telekomukasi baru untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Pada saat itu Kebijakan menarik investor ke dalam industri telekomunikasi didasarkan kepada: - jumlah sarana dan prasarana telekomunikasi yg masih terbatas (tingkat density rendah) - minimnya dana Pemerintah untuk membangun infrastruktur telekomunikasi. Peran pemerintah dalam tahap awal restrukturisasi memang diperlukan, agar proses berjalan lancar, antara lain: - sebagai regulator untuk mengendalikan ijin-ijin terkait dengan penetapan jumlah penyelenggara; pengalokasian sumberdaya ( frekuensi , nomer dlsb). menghilangkan hambatan bagi masuknya operator baru, mengawasi interkoneksi antara operator baru dengan "incumbent", membuat program perluasan akses ke daerah yg harus dilayani. Namun sangat disayangkan bahwa pengaturan tentang adanya Regulator yang netral tidak diatur secara jelas oleh UU 36/1999, karena hanya dicantumkan dalam Penjelasan Pasal 4 , sebagai bagian dari fungsi pembinaan. Untuk saat ini dan masa mendatang Regulator seharusnya benar-benar menjadi lembaga yang independen. Makna dari pengertian independent, yakni : independent dari perusahaan2 yang diaturnya agar tidak bias terhadap kepentingan perusahaan, independent dari tekanan politik. Sehingga perubahan dalam politik dan pemerintahan tidak membawa perubahan terhadap kebijakan regulasi, independent dari perseorangan dalam kewenangan pengambilan keputusan untuk menjamin stabilitas dalam proses pengambilan keputusan. Oleh sebab itu seharusnya lembaga seperti ini tidak berada dibawah Menteri, seperti saat ini.
Dalam Pasal 5 UU 36/1999 telah diatur pula tentang peran serta masyarakat yakni dalam bentuk penyampaian pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai arah pengembangan telekomunikasi dalam rangka penetapan kebijakan pengaturan, pengendalian dan pengawasan di bidaang telekomunikasi. Namun sayangnya walaupun sudah berjalan 15 tahun, tindak lanjut pengaturan tentang hal ini tidak pernah diterbitkan. Padahal dalam Pasal 5 ayat (2) UU 36/1999, secara jelas dinyatakan bahwa lembaga yang seharusnya dibentuk ini keanggotaannya terdiri dari asosiasi yang bergerak dibidang usaha telekomunikasi, asosiasi profesi telekomunikasi,asosisiasi produsen peralatan telekomunikasi, asosiasi pengguna jaringan dan jasa telekomunikasi dan masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi.
Terkait dengan konvergensi, hal ini adalah sebagai konsekwensi logis dari perkembangan teknologi di bidang telekomunikasi dan Informatika sehingga konvergensi merupakan suatu keniscayaan , yang tidak dapat kita hindari. Hal ini juga akan memberikan dampak yang sangat berarti terhadap UU 36/1999 mengingat di era konvergensi kita akan benar benar menyaksikan terjadinya konvergensi di dalam bidang infrastruktur telekomunikasi dan informatika serta Penyiaran sementara pada UU 36/1999 dengan tegas mengatur klasifikasi penyelenggara ke dalam tiga layer masing masing penyelenggara jaringan, jasa dan khusus.
Sesungguhnya konvergensi hanya akan terjadi pada tataran infrastrukturnya saja, sedangkan core-business (bisnis utama) masing masing pelaku bisnis seperti telekomunikasi, penyiaran ,perbankan dan jasa keuangan akan tetap berjalan sebagaimana yang ada seperti sekarang; namun kesemuanya ini akan melalui infrastruktur yang sama (converged). Apabila selama ini kita hanya dapat menyaksikan siaran televisi hanya melalui pesawat televisi yang dipancarkan dan dikelola oleh lembaga siaran maka ke depan kita akan dapat menyasikan siaran televisi dengan pilihan yang semakin beragam,baik melalui telepon genggam komputer meja /desk top, video streaming, dll yang dapat juga dilakukan oleh perusahaan perusahaan di dalam bidang telekomunikasi.
Demikian juga dengan layanan perbankan yang akan menjadi semakin luas menjangkau masyarakat, bahkan mampu menjangkau masyarakat yang selama ini kita kategorikan sebagai unbank-able. Melalui layanan dan jaringan telekomunikasi mereka akan dapat mengakses ke layanan jasa keuangan /perbankan seperti yang digariskan dalam konsep financial inclusion. Lambat tetapi pasti fakta tersebut akan terjadi secara merata di tanah air kita. Banyak tugas yang harus dilakukan oleh pemerintah agar dengan mulus kita dapat memasuki era konvergensi penuh (full convergence) , antara lain pembenahan regulasi dan pengaturan frekuensi, pembangunan jaringan pitalebar. Era konvergensi penuh nantinya membutuhkan dukungan undang-undang dan regulasi dengan wawasan jauh ke depan dan dinamis dengan tingkat jaminan kepastian hukum yang tinggi. Pada era full konvergensi akan terjadi pemanfaatan jaringan yang selama ini hanya dipergunakan untuk telekomunikasi, akses data dan penyiaran secara terpisah, maka ke depan dengan memanfaatkan jaringan yang sama, aneka jenis layanan akan dapat berjalan bersamaan. Tak terbayangkan bahwa dalam waktu yang tidak terlalu jauh ke depan kita di Indonesia akan dapatmenikmati aneka layanan jasa telekomunikasi,komunikasi data dan perbankan serta jasa dan transaksi keuangan lainnya hanya melalui sebuah perangkat yang kita pergunakan .
sumber : http://www.mastel.or.id/index.php?q=pojok_berita/2014/rdpu-mastel-komisi-i-dpr-ri-pandangan-mastel-tentang-implementasi-undang-undang-no
sumber : http://www.mastel.or.id/index.php?q=pojok_berita/2014/rdpu-mastel-komisi-i-dpr-ri-pandangan-mastel-tentang-implementasi-undang-undang-no
0 komentar:
Posting Komentar